BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Nilai yang
terkandung dalam sila Persatuan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan keempat
sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatu kesatuan yang bersifat
sistematis. Sila Persatuan Indonesia didasari dan dijiwai oleh sila Kesatuan
Yang Maha Esa dan Kemanusian Yang Adil dan Beradab serta mendasari dan dijiwai
sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Persatuan
dalam sila ketiga ini meliputi makna persatuan dan kesatuan dalam arti idiologis,
ekonomi, politik, sosial budaya dan keamanan. Nilai persatuan ini dikembangakan
dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang senasib. Nilai persatuan itu
didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang
merdeka dan berdaulat. Perwujudan Persatuan Indonesia adalah manifestasi paham
kebangsaan yang memberi tempat bagi keberagaman budaya atau etnis yang bukannya
ditunjukkan untuk
perpecahan namun semakin eratnya persatuan, solidaritas tinggi, serta rasa bangga dan kecintaan kepada bangsa dan kebudayaan.
perpecahan namun semakin eratnya persatuan, solidaritas tinggi, serta rasa bangga dan kecintaan kepada bangsa dan kebudayaan.
1.2
RUMUSAN MASALAH
a.
Apa bentuk penyimpangan
terhadap sila ketiga ?
b.
Apa yang menyebabkan terjadinya
penyimpangan terhadap sila ketiga ?
1.3
TUJUAN
Secara umum makalah ini bertujuan untuk memberikan
gambaran tentang bagaimana saja bentuk penyimpangan terhadap sila ketiga
pancasila dan memberi informasi kepada
semua orang agar menghindari hal yang bertentangan dengan sila ke 3 pancasila.
1.4
METODE PENULISAN
Metode yang penulis gunakan dalam
menyusun makalah ini adalah studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber
dari buku-buku maupun tulisan-tulisan lain yang ditulis di website yang menjadi
acuan penulis.
1.5
RUANG LINGKUP
Pembahasan dalam makalah ini
terbatas pada ruang lingkup sosial dan keagamaan dalam hubungannya dengan topik
dan judul makalah ini
BAB II
PEMBAHASAN
KASUS – KASUS YANG BERTENTANGAN DENGAN
SILA KETIGA PANCASILA
1.
DAYAK VS MADURA
Penduduk asli Kalimantan Barat adalah
Suku Dayak yang hidup sebagai petani dan nelayan Selain suku asli, suku lainnya
yang juga telah masuk ke bumi Kalimantan adalah Melayu, Cina, Madura, Bugis,
Minang dan Batak.
Dalam berkomunikasi penduduk yang
heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu sebagai bahasa
sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan mereka rendah, kebanyakan mereka
memakai bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian seringkali ditemui
kesalahpahaman di antara mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura berbicara
dengan orang Dayak, gaya komunikasi orang Madura yang keras ditangkap oleh
Orang Dayak sebagai kesombongan dan kekasaran.
Kebudayaan yang berbeda seringkali
dijadikan dasar penyebab timbulnya suatu konflik pada masyarakat yang berbeda
sosial budaya. Demikian juga yang terjadi pada konflik Dayak dan Madura yang
terjadi pada akhir tahun 1996 yaitu terjadinya kasus Sanggau Ledo, Kabupaten
Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk Kabupaten Sambas), di
Kalimantan Barat. Konflik sosial sepertinya agak sulit terpisahkan dari
dinamika kehidupan masyarakat Kalimantan. Setelah itu, pertikaian antar-etnis
terjadi lagi di Sambas, lalu disusul di Kota Pontianak, dan terakhir di Sampit
serta menyebar ke semua wilayah di Kalimantan Tengah.
Orang Dayak yang ramah dan lembut
merasa tidak nyaman dengan karakter orang Madura yang tidak menghormati atau
menghargai orang Dayak sebagai penduduk lokal yang menghargai hukum adatnya.
Hukum adat memegang peranan penting bagi orang Dayak. Tanah yang mereka miliki
adalah warisan leluhur yang harus mereka pertahankan. Seringkali mereka terkena
tipudaya masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil menguasai atau bahkan
menyerobot tanah mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat pendatang khususnya
orang Madura menimbulkan sentimen sendiri bagi orang Dayak yang menganggap
mereka sebagai penjarah tanah mereka. Ditambah lagi dengan keberhasilan dan
kerja keras orang Madura menelola tanah dan menjadikan mereka sukses dalam
bisnis pertanian.
Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi
merupakan dasar dari munculnya suatu konflik2. Masyarakat Dayak juga mempunyai
suatu cirri yang dominan dalam mata pencarian yaitu kebanyakan bergantung pada
kehidupan bertani atau berladang. Dengan masuknya perusahaan kayu besar yang
menggunduli kayu-kayu yang bernilai, sangatlah mendesak keberadaannya dalam
bidang perekonomian. Perkebunan kelapa sawit yang menggantikannya lebih memilih
orang pendatang sebagai pekerja daripada orang Dayak. Hal yang demikian
menyebabkan masyarakat adat merasa terpinggirkan atau tertinggalkan dalam
kegiatan perekonomian penting di daerahnya mereka sendiri. Perilaku orang
Madura terhadap orang Dayak dan keserakahan mereka yang telah menguras dan
merusak alamnya menjadi salah satu dasar pemicu timbulnya konflik di antara
mereka.
Ketidakcocokan di antara karakter
mereka menjadikan hubungan kedua etnis ini mudah menjadi suatu konflik.
Ditambah lagi dengan tidak adanya pemahaman dari kedua etnis terhadap latar
belakang sosial budaya masing-masing etnis. Kecurigaan dan kebencian membuat
hubungan keduanya menjadi tegang dan tidak harmonis.
Ketidakadilan juga dirasakan oleh
masyarakat Dayak terhadap aparat keamanan yang tidak berlaku adil terhadap
orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum. Permintaan mereka untuk
menghukum orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh
aparat penegak hukum. Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan
langsung terhadap orang Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran
pemukiman orang Madura.
Konflik adalah hubungan antara dua
pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki,
sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Kekerasan adalah tindakan, perkataan,
sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik,
mental sosial atau lingkungan dan atau menghalangi seseorang untuk meraih
potensinya secara penuh.
Dari definisi di atas, dapat
dikatakan bahwa antara konflik dengan kekerasan bagaikan dua sisi mata pedang
yang terpisahkan satu dengan yang lainnya manakala konflik yang terjadi tidak
segera diselesaikan sebagaimana mestinya, sehingga menimbulkan kekerasan yang
dapat merusak secara material maupun immaterial.
Konflik adalah suatu kenyataan yang
tidak terhindarkan jika pihak-pihak yang bertentangan tidak memiliki pemahaman
yang terhadap satu sama lain dan tujuan serta kebutuhan mereka tidak dapat lagi
sejalan. Perbedaan pendapat yang terjadi di antara keduanya pada dasarnya
adalah hal yang alami, namun jika tidak terkendali akan menjadi pemicu
timbulnya kekerasan yang merusak kedua belah pihak bahkan lingkungan
sekitarnya. Untuk itu diperlukan penyelesaian yang memberikan semangat damai
pada kedua belah pihak. Jika konflik yang menyebabkan timbulnya kekerasan dapat
diselesaikan tanpa melakukan kekerasan memberikan suatu rasa damai dan aman
pada masyarakat sekitarnya. Sebaliknya, jika diselesaikan juga dengan kekerasan
yang membabibuta akan menyebabkan timbulnya rasa takut, tidak aman, kepanikan
bagi orang sekitarnya, khususnya bagian dari masyarakat yang bertikai. Permasalahan
baru juga akan timbul dari penyelesaian dengan jalan kekerasan.
Selanjutnya Simon Fisher dkk,
mengajukan suatu konsep tentang arti kekerasan sebagai suatu pendekatan dalam
intervensi konflik yang menyebutkan bahwa konflik adalah fakta kehidupan yang
dapat memunculkan permasalahan-permasalahan berat saat kekerasan muncul dalam
konflik tersebut. Oleh karenanya dapat dibedakan antara kelompok yang
menghendaki kekerasan sebagai penyelesaian konflik dan kelompok yang anti
kekerasan. Kelompok yang pro kekerasan cenderung untuk memaksakan kehendaknya
agar dituruti orang lain ketika cara lain yang ditempuh gagal. Sedangkan
kelompok anti kekerasan cenderung percaya bahwa kekerasan tidak akan mampu
mendatangkan manfaat yang diharapkan diharapkan, sehingga penggunaan kekerasan
dirasa tidak bermanfaat dan tidak adil. Secara praktis tindakan-tindakan anti
kekerasan dilakukan masyarakat yang menerapkan metode anti kekerasan secara
mutlak mereka lebih percaya bahwa metode anti kekerasan yang diterapkan dalam
suatu konflik akan lebih berhasil dalam situasi yang mereka hadapi sendiri.
Menganalisa lebih lanjut tentang
konflik horizontal yang terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti
konflik Dayak dan Madura dihubungkan dengan teori Simon Fisher, dapat dikatakan
bahwa sebagian besar masyarakat di daerah konflik cenderung memilih jalan
kekerasan sebagai alternative penyelesaian masalah yang muncul di antara
mereka. Mereka menganggap cara ini lebih membuat pihak lawan memenuhi keinginan
mereka.
Identitas yang terancam sebagai
suatu suku asli Kalimantan yang terusik oleh kedatangan pendatang membuat suku
Dayak mengambil sikap keras. Ditambah lagi dengan tidak adanya perubahan sikap
dari masyarakat pendatang. Hal ini jelas terlihat pada dampak yang terjadi
pasca konflik horizontal Dayak dan Madura. Mereka tidak melihat dampak dari
kekerasan bagi masyarakat mereka sendiri yaitu korban jiwa dan harta benda,
tetapi yang terpenting adalah keluarnya orang Madura dari wilayah mereka.
Menyimak lebih jauh tentang konflik
horizontal yang juga disebut sebagai konflik etnis yang bersifat laten
(tersembunyi) yang harus diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara
efektif. Disebut sebagai konflik yang bersifat laten karena di antara kedua
etnis yang bertikai (Dayak dengan Madura) sudah lama terjadi ketidakharmonisan
dalam interaksi sosialnya. Suku Dayak sebagai suku asli Kalimantan merasa
terusik kehidupannya dengan semakin meningkatnya populasi suku Madura yang juga
mendominasi hampir seluruh aspek kehidupannya.
Ketidakharmonisan dalam interaksi
sosial antara kedua etnis ini tidak cepat mendapat penanganan dari tokoh
masyarakat setempat maupun oleh aparatur pemerintah agar dapat ditangani. Pada
pertikaian yang terjadi terlihat adanya keberpihakan dari aparat kepada salah
satu etnis menurut pendapat etnis lain. Kondisi ini terus berlanjut, yang pada
akhirnya menjadi konflik terbuka berakar dan diiringi dengan kekerasan.
Konflik yang dipicu oleh persoalan
yang sederhana, menjadi kerusuhan dan di identifikasi pemicu pecahnya konflik adalah
: adanya benturan budaya etnis lokal dengan etnis pendatang, lemahnya supremasi
hukum, adanya tindak kekerasan. Benturan budaya ini sebenarnya lebih banyak
disebabkan oleh kesombongan dan ketidakpedulian etnis Madura terhadap hukum
adat dan budaya lokal yang sangat dihormati masyarakat setempat seperti hak
atas kepemilikan tanah.
PERISTIWA
MEMICU TRAGEDI SAMPIT DAYAK VS MADURA
Sebelum peristiwa berdarah meledak di Sampit, pertikaian
antara suku Dayak dan suku Madura telah lama terjadi. Entah apa penyebab
awalnya (Hanya Tuhan yang tau), yang jelas suku Dayak dapat hidup berdampingan
dengan damai bersama suku lain tapi tidak suku Madura. Kenapa orang Dayak jadi
beringas terhadap etnis Madura…??? Bahkan keturunan suku terdekat dari suku
Dayak pun (Banjar), kaget melihat keberingasan mereka dalam Tragedi Sampit.
Menengok
kembali peristiwa lama yang MUNGKIN termasuk pemicu terjadinya
Tragedi sadis di Sampit (Berdasarkan info dr mbah gugel):
Ø Tahun 1972 di Palangka Raya, seorang
gadis Dayak diperkosa. Terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan
mengadakan perdamaian menurut hukum adat (Entah benar entah tidak pelakunya
orang Madura)
Ø Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh
orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan
atau penyelesaian secara hukum tidak ada.
Ø Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu,
Kasongan, seorang warga Kasongan etnis Dayak di bunuh. Perkelahian antara satu
orang Dayak yang dikeroyok oleh tigapuluh orang madura. Terhadap pembunuhan
warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku
Dayak dan Madura diadakan perdamaian. Dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan
kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani
oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura
mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
Ø Tahun 1996, di Palangka Raya,
seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan
kejam dan sadis oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.
Ø Tahun 1997, di Desa Karang Langit,
Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan
kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua. Orang Dayak tersebut
diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri, dimana penyerang
berhasil dikalahkan semuanya. Dan tindakan hukum terhadap orang
Dayak adalah dihukum berat.
Dayak adalah dihukum berat.
Ø Tahun 1997, di Tumbang Samba,
ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati
terbunuh oleh seorang suku Madura tukang jualan sate. Si belia Dayak mati
secara mengenaskan, tubuhnya terdapat lebih dari 30 tusukan. Anak muda itu
tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan
si tukang sate telah lari kabur. Si korban Waldi hanya kebetulan lewat di
tempat kejadian saja.
Ø Tahun 1998, di Palangka Raya, orang
Dayak dikeroyok oleh empat orang Madura hingga meninggal, pelakunya belum dapat
ditangkap karena melarikan diri, kasus inipun tidak ada penyelesaian secara
hukum.
Ø Tahun 1999, di Palangka Raya,
seorang petugas Tibum (ketertiban umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di
tahan di Polresta Palangka Raya, namun besok harinya datang sekelompok suku
Madura menuntut agar temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan. Ternyata
pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum.
Ø Tahun 1999, di Palangka Raya,
kembali terjadi seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura karena
masalah sengketa tanah. Dua orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu
mati semua. Sedangkan pembunuh lolos, malahan orang Jawa yang bersaksi dihukum
1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan
yang melarikan diri itu.
Ø Tahun 1999, di Pangkut, ibukota
Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal
dengan suku Madura. Gara-gara suku Madura memaksa mengambil emas pada saat suku
Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada kedua
belah pihak, tanpa penyelesaian hukum.
Ø Tahun 1999, di Tumbang Samba,
terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama Iba oleh tiga orang Madura.
Pasangan itu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya.
Biaya operasi dan perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Namun para pembacok
tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura. Kronologis kejadian
tiga orang Madura memasuki rumah keluarga Iba dengan dalih minta diberi minuman
air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu Iba menuangkan air di gelas,
mereka
membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
membacoknya, saat istri Iba mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah alamat.
Ø Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin
Barat, satu keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian
lari, tanpa penyelesaian hukum.
Ø Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 satu
orang suku Dayak di bunuh oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja
Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, tanpa proses hukum.
Ø Tahun 2000, di Kereng Pangi,
Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG
(nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur, tidak
tertangkap, karena lagi-lagi katanya sudah lari ke Pulau Madura. Proses hukum
tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak
tuntas).
Ø Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20
Februari 2001) warga Dayak banyak terbunuh karena dibantai. Suku Madura
terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
Ø Tahun 2001, di Palangka Raya (25
Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh diserang oleh suku Madura. Belum
terhitung kasus warga Madura di bagian Kalimantan Barat
PENANGANAN YANG DILAKUKAN
Lemahnya supremasi hukum terlihat dari perlakuan yang ringan diberikan pada masyarakat Madura. Dalam hal ini untuk menghindari keadaan yang lebih tidak terkendali lagi seperti terjadinya tindakan kekerasan, pembunuhan, pembakaran dan pengusiran yang berkepanjangan, maka untuk sementara waktu orang Dayak menyatakan sikap yaitu :
1. Untuk etnis Madura yang masih berada di wilayah Kalimantan Barat agar
secepatnya dikeluarkan atau
diungsikan demi keselamatan dan keamanan mereka
karena tidak ada jaminan untuk itu.
Terlebih dengan tidak cukupnya aparat keamanan
menjangkau wilayah rawan konflik.
2. Menolak pengembalian pengungsi etnis Madura untuk batas waktu yang tidak
2. Menolak pengembalian pengungsi etnis Madura untuk batas waktu yang tidak
ditentukan karena tidak adanya suatu
jaminan perubahan sikap dari etnis Madura dan juga
dikhawatirkan adanya tindakan balas
dendam secara langsung maupun tidak langsung.
Sikap ini ditanggapi positif oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat karena adanya
Sikap ini ditanggapi positif oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat karena adanya
keterbatasan aparat yang tidak dapat
menjangkau seluruh wilayah Propinsi Kalimantan, maka demi keamanan kedua belah
pihak untuk sementara suku Madura harus dilokalisir pada daerah yang lebih
aman. Selain itu dalam upaya penanganan konflik yang terjadi ini dilakukan juga
beberapa cara yaitu :
(1) Untuk sementara waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya, etnis Dayak dan Melayu sepakat tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan terutama di daerah konflik . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bentrokan di antara mereka karena sangat rentan tersulut oleh isu yang akan membakar kemarahan kedua belah pihak;
(2) Rehabilitasi bangunan yang rusak akibat pengrusakan dan pembakaran terhadap infrastruktur masyarakat umum juga dilakukan agar dapat berjalannya kegiatan masyarakat sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu mendapat perhatian dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai dan melibatkan kembali seluruh tokoh masyarakat;
(3) Re-evakuasi dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman. Untuk itu perhatian terhadap keamanan mereka di daerah pengungsian harus didukung oleh pihak keamanan sampai mereka mendapat tempat yang layak;
(4) Dialog antar etnis yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga adat masyarakat perlu dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama mengakhiri konflik yang berkepanjangan;
(5) Demikian juga dengan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum perlu dilakukan secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis tertentu selain itu kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan.
Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadi konflik adalah kurangnya pemahaman terhadap sosial budaya masing-masing suku yang berbeda antara suku Dayak dan Madura. Selain itu kurang diperhatikannya peranan masyarakat setempat dalam kegiatan perekonomian di wilayah mereka, sehingga timbul diskriminasi terhadap suku Dayak sebagai suku Asli setempat. Selain itu dalam sejarah konflik di Kalimantan secara umum dipicu oleh dipraktekkannya tindak kekerasan baik dalam bentuk penganiayaan dan pembunuhan manusia di daerah konflik. Hal ini didukung juga dengan lemahnya supremasi hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
(1) Untuk sementara waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya, etnis Dayak dan Melayu sepakat tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan terutama di daerah konflik . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bentrokan di antara mereka karena sangat rentan tersulut oleh isu yang akan membakar kemarahan kedua belah pihak;
(2) Rehabilitasi bangunan yang rusak akibat pengrusakan dan pembakaran terhadap infrastruktur masyarakat umum juga dilakukan agar dapat berjalannya kegiatan masyarakat sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu mendapat perhatian dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai dan melibatkan kembali seluruh tokoh masyarakat;
(3) Re-evakuasi dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman. Untuk itu perhatian terhadap keamanan mereka di daerah pengungsian harus didukung oleh pihak keamanan sampai mereka mendapat tempat yang layak;
(4) Dialog antar etnis yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga adat masyarakat perlu dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama mengakhiri konflik yang berkepanjangan;
(5) Demikian juga dengan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum perlu dilakukan secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis tertentu selain itu kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan.
Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadi konflik adalah kurangnya pemahaman terhadap sosial budaya masing-masing suku yang berbeda antara suku Dayak dan Madura. Selain itu kurang diperhatikannya peranan masyarakat setempat dalam kegiatan perekonomian di wilayah mereka, sehingga timbul diskriminasi terhadap suku Dayak sebagai suku Asli setempat. Selain itu dalam sejarah konflik di Kalimantan secara umum dipicu oleh dipraktekkannya tindak kekerasan baik dalam bentuk penganiayaan dan pembunuhan manusia di daerah konflik. Hal ini didukung juga dengan lemahnya supremasi hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
2. ORGANISASI
PAPUA MERDEKA ( OPM )
SEJARAH ORGANISASI
PAPUA MERDEKA
Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan
kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua
Merdeka).
Lahirnya OPM di kota Manokwari
pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak
pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh.
Picu "proklamasi OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota
Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak
untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke
penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di
kalangan suku itu
Pada tanggal
14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota
Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan "proklamasi OPM" serta
"pengibaran bendera OPM" yang kesekian kali.
Peristiwa ini
agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya.
karena, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.
Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah "Papua Barat", seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara "Melanesia Barat". Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.
karena, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.
Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah "Papua Barat", seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara "Melanesia Barat". Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.
Dibandingkan
dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai
mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya.
Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara
-- tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM
-- mendapat perhatian luas.
Dengan segala
pembatasan di atas, tonggak-tonggak sejarah mana yang paling penting untuk
disorot? secara kronologis, ada lima tonggak sejarah yang paling penting dalam
pertumbuhan kesadaran nasional Papua.
26 Juli 1965
26 Juli 1965
Tonggak
sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26
Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan
berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah
Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.
Sedangkan
tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan
Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur
gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan
Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari
Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah
migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari.(2) Sebelum terjun
dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik
bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan
terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai
kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu (Nusa
Bhakti, 1984; Osborne, 1989: 35-36).
1 Juli 1971
1 Juli 1971
Empat tahun
sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh
pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo,
"proklamasi OPM" kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1
Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan
Papua Niugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam
kosakata rakyat Irian Jaya, "Mavik".
Pencetusnya
juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan
Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet
Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah
Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak.
Ironisnya, ia
adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di
bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan
menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987:
122).
Sebagai
putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut
kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia
meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk
TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa
Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang
Intelligence di bawah pasukan Diponegoro.
Namun
kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia menjelang
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama
para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri.
Sebelumnya ia
sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang
sesukunya, di Negeri Belanda. Atas dorongan Womsiwor, ia membacakan teks
proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam kedudukannya sebagai Presiden
Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal:(3)
PROKLAMASI
Kepada
seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke
Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bah-wa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
SethJafetRumkorem
(Brigadir-Jenderal)
3 Desember 1974
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bah-wa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
SethJafetRumkorem
(Brigadir-Jenderal)
3 Desember 1974
Dalam upacara
pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua
Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan,
Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan
Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?) TEPENAL
Republik Papua Barat.
Imajinasi
kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh para aktivis OPM,
tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa penjajahan
Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di "Markas Victoria", imajinasi
itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada
tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota
Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut "Pernyataan
Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari
Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong, yang
"100% merdeka di luar Republik Indonesia".
Sejak
Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura.
Soalnya, salah seorang di antara penandatangan "proklamasi
Sorong-Samarai" itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah
Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975
kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di
rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun
ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang
dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura.
Pada tanggal
9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan
"makar". Ketika saya bekerja di Jayapura di awal 1980-an, saya
berkenalan dengan salah seorang pencetus "proklamasi Sorong-Samarai",
yang telah selesai menjalankan masa hukumannya, dan sudah diterima bekerja di
sebuah perusahaan konsultan transmigran sebagai tenaga penterjemah. Ia tidak
mau berceritera tentang gerakan yang pernah dilakukannya (atau yang pernah
dituduhkan kepadanya?).
26 April 1984
26 April 1984
Pada tanggal
ini, pemerintah Indonesia melakukan "sesuatu" yang justru semakin
menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang
martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok
OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka
asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap, ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah
timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon
akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan
sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari
1984.
Arnold Ap
yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945, menyelesaikan studi Sarjana Muda
Geografi dari Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km sebelah selatan kota
Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen
yang lama dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz
Sans, untuk mengevaluasi hasil Pepera 1969.
Sesudah hasil
Pepera mendapatkan pengesahan oleh PBB, tampaknya ia menyadari bahwa pendirian
suatu negara Papua Barat yang terpisah dari Indonesia terlalu kecil kansnya
dalam waktu singkat. Ia kemudian berusaha memperjuangkan agar orang Irian dapat
mempertahankan identitas kebudayaan mereka, walaupun tetap berada dalam konteks
negara Republik Indonesia.
Selain
pertimbangan real-politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas
Irian melalui bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh "modal alam"
yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang berbakat. Selain mahir
menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat Irian
Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias guyon-guyon
khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi
Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi
Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga itu.
Dalam
kapasitas itu, ia sering mendapat kesempatan mendampingi antropolog-antropolog
asing yang datang melakukan penelitian lapangan di Irian Jaya. Kesempatan
itulah yang dimanfaatkannya untuk melakukan inventarisasi terhadap seni patung,
seni tari, serta lagu-lagu dari berbagai suku yang dikunjunginya (Ap dan
Kapissa, 1981; Ap, 1983a dan 1983b).
Dalam
kedudukan sebagai kepala museum yang diberi nama Sansakerta, Loka Budaya , ia
mengajak sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan sebuah kelompok seni-budaya yang
mereka namakan Mambesak (istilah bahasa Biak untuk burung cenderawasih).(4)
Kelompok ini didirikan tanggal 15 Agustus 1978, menjelang acara 17 Agustus,
sebagai persiapan untuk mengisi acara hiburan lepas senja di depan Loka Budaya.
Selain Arnold, para "cikal-bakal" Mambesak yang lain adalah Marthin
Sawaki, Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang masih berkuliah di Uncen waktu itu
(IrJaDISC, 1983).
Ternyata,
respons masyarakat Irian -- baik orang kota maupun orang desa, orang kampus
maupun orang kampung -- terhadap karya kelompok Mambesak ini cukup besar. Lima
volume kaset Mambesar berisi reproduksi -- dan juga, rearrangement -- lagu-lagu
daerah Irian Jaya, berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran
radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di
Studio RRI Nusantara V setiap hari Minggu siang, cukup populer. Apalagi karena
di selang-seling siarannya, lagu-lagu rekaman Mambesak selalu diputar.
Lagu-lagu itu bahkan pernah saya dengar di Pegunungan Bintang dari siaran radio
negara tetangga, Papua Niugini, yang sedang dinikmati oleh seorang penduduk
asli suku Ok.
Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia, bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu "bungkus kultural" bagi "bahaya laten" nasionalisme Papua.
Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia, bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu "bungkus kultural" bagi "bahaya laten" nasionalisme Papua.
Alhasil, Arnold mulai berurusan
dengan aparat keamanan di Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia
melakukan sesuatu yang "subversif" atau bersifat "makar",
ia tak dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di
kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya - Papua Niugini, untuk mengajak para
gerilyawan OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka.
Keadaan itu
berubah drastis di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang
ditugaskan di Irian Jaya, berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM
yang mereka curigai ada di kampus dan di instansi-instansi pemerintah di
Jayapura, dan menumpasnya once and for all. Arnold dianggap merupakan
"kunci" untuk membongkar jaringan "OPM kota" itu. Mengapa
Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan
dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan
Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga
membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden
Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan
kaset-kaset Mambesak.
Alhasil, pada
tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis
di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya
bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan
untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan
dan di luar negeri. Penahanan tokoh budayawan Irian yang di media cetak
Indonesia hanya dilaporkan oleh harian Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita
Oikoumene , segera mengundang kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di
Jayapura maupun di Jakarta.
Walaupun
penahanannya dipertanyakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
maupun teman-teman Arnold yang lain di Jayapura dan di Jawa, sampai awal
1984(5) tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan ke pengadilan. Ia hanya
dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda.
Seorang teman
Arnold yang juga anggota inti Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga
ikut ditahan bersamanya.
Ketidakjelasan
status sang budayawan Irian ini, menambah keresahan kawan-kawannya di Jayapura
dan Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya mendorong dua peristiwa pelarian
politik ke luar negeri. Di Jayapura, pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan
teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan diri ke Vanimo dengan menggunakan
perahu bermotor. Dalam rombongan itu termasuk isteri Arnold, Corry, bersama
tiga orang anaknya yang masih kecil serta bayi di dalam kandungannya.
Sementara itu
di Jakarta, empat pemuda Irian -- Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth
Sarakan, dan Ottis Simopiaref -- yang mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI,
akhirnya terpaksa minta suaka ke Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan
akibat dicari-cari oleh aparat keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser,
1984).
Di
tengah-tengah gejolak politik beginilah, "tawaran" kepada Arnold dkk
untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan
mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu
tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang
budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984 (Osborne, 1985 dan
1987: 152-153; Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail, 1985).
Sekitar lima
ratus orang ikut mengantar jenazah sang seniman ke tempat peristirahatannya
yang terakhir di pekuburan Kristen Abe Pantai, berdampingan dengan makam
sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah meninggal pada hari pertama
pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu Paskah, 22 April 1984.
Kematian sang
seniman ikut melecut arus pengungsi tambahan ke Papua Niugini. Sementara mereka
yang sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut memperingati kematian teman mereka,
sambil menghibur sang janda, Corry Ap.
Kematian
budayawan asli Irian ini menambah simbol nasionalisme Papua, karena berbagai
fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai orang
yang diam-diam menjadi "Menteri Pendidikan & Kebudayaan" mereka
di dalam kabinet bawah tanah OPM di Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang
seniman adalah seorang "konoor modern", merujuk ke para penyebar
kabar gembira dalam mitologi mesianistik Biak, Koreri (Osborne, 1987: 149).
Namun selang
beberapa tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih karena para penerus
Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap museum
Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok
senibudaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian.
Sedangkan di
Negeri Belanda, ke mana isteri dan anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh
pemerintah Papua Niugini, kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan
jandanya, Corry Ap, bagaikan figur Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya
karena keyakinan politik sang suami, Benigno ("Ninoy") Aquino. Namun
Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah bosan dengan usaha-usaha politisasi
dirinya, janda sang seniman menarik diri dari kehidupan publik dan membatasi
peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi
keempat orang anak laki-lakinya di negeri yang tak selalu ramah terhadap para
migran berkulit hitam.
14
Desember 1988
Seperti yang
telah disinggung di depan, "proklamasi dan pengibaran bendera OPM"
yang dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari
pada berbagai proklamasi dan pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya
cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagian besar)
bekal historis OPM yang sebelumnya.
Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua Barat" yang sebelumnya.
Konon menurut ceritera, bendera "Papua Barat" yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil "Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru ketiga warna bendera Belanda.
Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri.
Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul "Hai Tanahku, Papua", yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai. Sedangkan "wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan diresmikan oleh Rumkorem.
BEGITULAH lima tonggak sejarah dalam evolusi nasionalisme Papua atau Melanesia Barat di Irian Jaya.
Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua Barat" yang sebelumnya.
Konon menurut ceritera, bendera "Papua Barat" yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil "Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru ketiga warna bendera Belanda.
Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri.
Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul "Hai Tanahku, Papua", yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai. Sedangkan "wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan diresmikan oleh Rumkorem.
BEGITULAH lima tonggak sejarah dalam evolusi nasionalisme Papua atau Melanesia Barat di Irian Jaya.
3. POLRI
VS KPK
PERANG URAT SYARAF 2 JENDRAL POLISI VS KPK
Adalah para pengacara Irjen Polisi Djoko Susilo yang meminta
fatwa hukum kepada Mahkamah Agung, untuk menentukan siapa yang memiliki
kewenangan melakukan penyidikan atas kasus dugaan korupsi pengadaan alat uji
simulator SIM. Mereka adalah para pengacara terkenal, tentunya paham betul tata
cara dan aturan bagaimana meminta fatwa hukum pada MA. Senin kemarin Ketua Muda
MA Bidang Pidana Khusus, Djoko Sarwoko menyatakn : ”MA tak akan mengeluarkan
fatwa hukum, sebab yang berhak meminta fatwa MA hanyalah lembaga negara”.
Dengan kata lain, MA tak akan melayani permintan perorangan!
Dengan sikap MA seperti itu, maka mestinya besok, tanggal 5
Oktober 2012, tak ada lagi alasan bagi Irjen. Pol. Djoko Susilo untuk
menolak panggilan pemeriksaan oleh KPK. Aneh sebenarnya, ketika DS menolak
diperiksa oleh KPK dengan alasan masih menunggu putusan MA – siapa yang berhak
memeriksa kasus ini : KPK atau Polri – sementara ia sudah memenuhi panggilan
Polri. Bukankah seharusnya DS tak mau dipanggil lembaga penegak hukum mana pun
– termasuk Kepolisian – sebelum ada putusan MA?
Pasca penolakan DS untuk memenuhi panggilan KPK, Kapolri
Jendral Timur Pradopo ditanya wartawan soal bersediakah beliau datang jika
dipanggil KPK terkait kasus ini, mengingat Kapolri lah yang membubuhkan tanda
tangan pada surat keputusan penunjukan vendor dalam pengadaan alat uji
simulator SIM itu. Dengan tegas dan spontan Kapolri menjawab dirinya bersedia.
Bahkan Kapolri meminta DS untuk memenuhi panggilan KPK.
Nah, jika apa yang dikatakan Kapolri ini memang benar tulus
dan bukan retorika semata, maka seharusnya penolakan DS untuk memenuhi
panggilan KPK dapat dikategorikan sebagai bentuk penolakan / pembangkangan
perintah atasan. Logikanya, jika Polri memegang teguh doktrin patuh pada
komando atasan, mestinya DS diberi sanksi. Bukankah DS masih Jendral Polisi
aktif yang terikat pada kode etik Kepolisian yang mengharuskannya patuh pada
perintah atasan dan bukan pada saran pengacara?
Kini, yang menghimbau DS untuk memnuhi panggilan KPK bukan
hanya Kapolri, tapi juga Menkopolhukam. Akankah himbauan para petingi Polri dan
militer ini hanya jadi macan ompong belaka? Akankah dikalahkan oleh perang urat
syaraf yang dilancarkan para pengacara DS? Kita akan bisa lihat 5 Oktober besok.
Demi harga diri dan kehormatan Irjen. Pol. Djoko Susilo dan institusi Polri,
seharusnya DS dengan gentle memenuhi panggilan KPK. Inilah kesempatan
bagi DS menunjukkan dirinya bersih. Dengan mengulur-ulur proses pemeriksaannya,
sama saja DS mengijinkan dirinya dan Polri jadi bulan-bulanan media massa.
Semakin besar resistensi DS menolak panggilan KPK, makin besar pula kecurigaan
publik. Kalau bersih, kenapa harus risih Jendral?
Wakapolri Nanan Sukarna (foto : pontianak.tribunnews.com)
TUDUHAN WAKAPOLRI : KPK HABISKAN DANA BESAR MEMBAYAR
KONSULTAN PENCITRAAN
Kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM ini seolah
membuat Polri tersengat. Mereka kompak menghadapi KPK. Irjen DS tak
dibiarkan menghadapi masalahnya sendiri. Setidaknya perang urat syaraf dan opini
untuk mendelegitimasi KPK dilancarkan. Salah satunya lewat pernyataan Wakil
Kepala Polri Komjen Pol. Nanan Sukarna pada 26 September 2012 lalu. Nanan
menuduh KPK mengeluarkan dana sangat besar untuk membayar konsultan pencitraan.
Entah fakta apa yang mendasarI Nanan melontarkan sinyalemen itu. Apakah Nanan
bisa membuktikan tuduhannya atau tidak, masih perlu diuji.
Metro TV pernah membahas tuduhan ini dalam sebuah dialog.
Sayangnya Kabag. Penum. Div. Humas Mabes Polri, Agus Rianto, yang menjadi nara
sumber mewakili Polri, tak bisa secara spesifik menjelaskan tuduhan yang
dilontarkan Wakapolri indikasinya apa. Sebaliknya, Alex Laay, pengacara
KPK, menjelaskan bahwa para pengacara, praktisi hukum, penggiat anti korupsi,
tokoh masyarakat, akademisi dan pemuka agama yang sejak kasus cicak vs buaya
tahun 2009 lalu berada di belakang KPK, semuanya melakukan semata untuk
memberikan dorongan moril kepada KPK, karena semangat melawan korupsi. Mereka
melakukannya dengan sukarela, tanpa dibayar.
Yang ini dituduh konsultan pecitraan KPK yang menghabiskan
banyak dana? (foto : solopos.com)
Seolah hendak menjawab tuduhan Wakapolri, kemarin, Senin
petang, 1 Oktober 2012, sejumlah tokoh masyarakat dan tokoh agama mendatangi
gedung KPK untuk sekali lagi menegaskan dukungannya pada KPK yang sedang
dikeroyok DPR dan Kepolisian. Sulit membayangkan para tokoh senior itu dibayar
atau setidaknya disuruh datang oleh konsultan pencitraan. Apakah para tokoh
yang sudah punya nama itu mau disetir hanya demi uang?
Saya masih ingat ketika kasus dugaan korupsi simulator SIM
ini sedang panas-panasnya setelah KPK menggeledah gedung Korlantas Polri. Di
tengah panasnya perang urat syaraf, Polri menggelar buka puasa bersama yang
mengundang Ketua KPK dan Presiden SBY. Dari tayangan TV, setting acara buka
puasa bersama itu termasuk meriah dan mewah. Ibarat sebuah resepsi makan malam.
Di tempat berbeda, yaitu di gedung KPK, pimpinan KPK lainnya – selain Abraham
Samad, yang sedang menghadiri undangan Kapolri – berbuka puasa bersama beberapa
tokoh dan pemuka agama. Tampak sekali suasana buka puasa itu sangat sederhana.
Takjil yang disiapkan hanyalah sekotak kue dan minuman dalam gelas plastik.
Hidangan buka puasa pun hanyalah nasi kotak. Sama sekali jauh dari kesan
istimewa apalagi mewah. Jika KPK sengaja membuat perhelatan buka puasa bersama
dengan mengundang sejumlah tokoh yang dirancang oleh konsultan pencitraan,
tentunya setting acara tak sesederhana itu.

Tokoh seperti ini juga dianggap konsultan pencitraan KPK yg
dibayar mahal? (foto : nasional.news.viva.co.id)
Wakapolri bukanlah orang sembarangan. Sebagai orang nomor
dua di jajaran Polri, tentu dan sudah selayaknya Komjen Nana Sukarna tidak
sembarangan mengeluarkan pernyataan. Kalau beliau mengeluarkan tuduhan KPK
mengeluarkan dana besar untuk membayar konsultan pencitraan, semestinya ada
bukti permulaan yang dia yakini mengarah kesana. Bisakah Nanan
mempertanggungjawabkan tuduhannya? Jangan lupa, Nanan adalah petinggi Polri
yang setiap kata-katanya seyogyanya didukung bukti kuat dan bukan dugaan tanpa
alasan.
Demi harga diri dan kehormatan para tokoh yang selama ini
berdiri di belakang KPK dan terus memberikan dukungan moril kepada KPK, tak ada
salahnya jika mereka menuntut Wakapolri untuk membuktikan tuduhannya. BPK sudah
melakukan audit atas KPK. Tentu bisa ditelusuri jika ada dana besar yang
mengalir ke konsultan pencitraan. Nah, beranikah Wakapolri membuktikan
tuduhannya? Kalau benar, kenapa harus ragu Jendral?
BAB
3
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Telah kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang memiliki banyak ragam budaya yang berbeda-beda dari setiap
suku daerah yang berbeda pula. Perbedaan itu sendiri justru memberikan
kontribusi yang cukup besar pada citra bangsa Indonesia. Kebudayaan dari
tiap-tiap suku daerah inilah yang menjadi penyokong dari terciptanya budaya
nasional Indonesia.
Identitas budaya nasional kita saat ini memang belum jelas selain hanya
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan Pancasila sebagai filosofi atau
pandangan hidup bangsa.
Selain itu, perbedaan juga akan menyulut terjadinya sebuah konflik jika
para pelakunya tidak dapat mengendalikan emosi mereka masing-masing. Lingkungan
dan masyarakat sangatlah menentukan bagaimana sebuah kebudayaan itu tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Manusia sebagai pelaku dan pencipta
kebudayaan mengatur perkembangan budaya, dan budaya sebagai fenomena sosial
citapaan manusia mendidik manusia itu sendiri untuk mengerti dan memahami
tentang keadaan sosial masyarakatnya. itulah yang disebut dengan dialektika
atau saling ketergantungan antara manusia dengan kebudayaan.
Ancaman lain yang turut serta datang dan membahayakan kebudayaan bangsa
adalah budaya asing yang terbawa dalam arus globalisasi. Kebudayaan dalam
konteks Nasional saja masih bisa berbeda, apalagi kebudayaan yang datang dari
luar konteks tersebut, jelas sangat berbeda. Seiring dengan berjalannya waktu,
manusia akan mengikuti budaya yang sedang marak dan mulai melupakan budaya
nenek moyang mereka, walaupun pada hakikatnya manusia tidak dapat bebas dari
budayanya sendiri.
Jika kita melihat bangsa Indonesia pada masa lalu, maka yang ada di benak
kita adalah sebuah pertanyaan ’mengapa bagsa Indonesia dapat menunjukkan
kesatuaannya saat itu dan sekarang tidak?’. Hal itu terjadi karena seluruh
komponen masyarakat mengalami nasib yang, yaitu dalam masa penjajahan.
Sekarang, rasa persatuan tersebut hanya dapat kita lihat dalam beberapa
kejadian saja di mana seluruh komponen masyarakat Indonesia kembali merasa
senasib, sepenanggungan, dan seperjuangan. Dalam permainan sepak bola misalnya.
Baik masyarakat Jawa, Batak, Minang, Sunda, dan masyarakat budaya Indonesia
lainnya akan mendukung tim sepak bola Indonesia dengan rasa kesatuannya, yaitu
Indonesia, bukan Bugis, Madura atau suku-suku lainnya.
Dengan kata lain, kebudayaan Nasional Indonesia tidak bisa hanya diukur
dengan salah satu budaya daerah saja. Kepemimpinan menurut suku Jawa akan
berbeda dengan kepemimpinan menurut suku Asmat dan juga suku yang lainnya.
Kebudayaan Nasional Indonesia harusnya bersifat umum yang bisa diikuti oleh
semua suku-suku bangsa Indonesia, dan bukan menggunakan budaya di mana pusat
pemerintahan itu dijalankan. Pusat hanya menjadi fasilitator, bukan educator.
Hal inilah yang dibutuhkan bangsa Indonesia dalam membentuk kebudayaan
Nasionalnya.
2.
Saran
Nilai-nilai dan identitas kebudayaan daerah yang menjadi citra bangsa, yang
juga merupakan sebagai alat untuk mempertahankan harga diri bangsa ini mulai
luntur. Masyarakat mulai enggan mengenali budaya nenek moyang mereka. Padahal,
sebagaimana yang telah tertulis, bahwa kebudayaan daerah adalah dasar dari
kebudayaan nasional.
Oleh karena itu, demi terbentuknya kebudayaan Nasional yang benar-benar
dapat menyatukan kembali seluruh komponen budaya bangsa, perlu kita mempelajari
dan mengenal lebih dalam lagi tentang sejarah dan warisan-warisn budaya kita,
dan juga demi mencari jati diri yang bhineka itu.
2.
Solusi yang
Diberikan Pancasila dalam Mengatasi Konflik
Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila merupakan tuntunan dan pegangan
dalam mengatur sikap dan perilaku manusia Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia yang menjadi sumber moral dan menjelma
dalam wujud yang beraneka ragam kebudayaan daerah dapat dikembangkan dalam
rangka memperkaya nilai-nilai pancasila, yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa.
Nilai-nilai tersebut adalah nilai baru yang tumbuh dalam kehidupan bangsa
Indonesia yang sedang membangun, yang sedang teruji sebagai nilai luhur yang
perlu dikembangkan. Dalam konteks pengembangan nilai-nilai dasar yang
terkandung dalam pancasila, perlu diperhatikan perubahan sikap masyarakat
terhadap nilai-nilai yang ada sebagai akibat dinamika yang terjadi dalam
kehidupan bangsa Indonesia.
Pancasila
yang digali dan dirumuskan para pendiri bangsa ini adalah sebuah rasionalitas
kita sebagai bangsa majemuk, multi agama, multi bahasa, multi budaya, dan multi
ras, yang bergambar dalam Bhineka Tunggal Ika. Kebinekaan Indonesia harus
dijaga sebaik mungkin. Kebhinekaan yang kita inginkan adalah kebhinekaan yang
bermartabat. Untuk menjaga kebhinekaan yang bermartabat itulah, maka berbagai
hal yang mengancam kebinekaan harus ditolak. Namun dengan kebhinekaan tersebut
hingga saat ini bangsa Indonesia belum memiliki identitas kebudayaan yang
jelas. Selama ini Indonesia hanya memiliki identitas semu yang belum mantap
tetapi dipaksakan seolah-olah menjadi ciri khas kebudayaan. Hal inilah yang
mengakibatkan peselisihan dan menimbulkan konflik.
D idalam
pancasila terdapat nilai-nilai yang digunakan bangsa Indonesia sebagai landasan
serta motivasi atas segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam kehidupan kenegaraan. Nilai-nilai tersebut selalu dapat memberikan solusi
atas masalah yang terjadi dalam negara Indonesia kususnya masalah kemajemukan.
Nilai-nilai luhur pancasila tersebut tertuang dalam setiap butir-butir
pancasila
DAFTAR
PUSTAKA
Thank'sss
BalasHapusTerimakasih informasinya
BalasHapusmuchas gracias, señorita (y) #haturnuhun
BalasHapussangat bermanfaat, terimakasih mudah-mudahan berkah mas, ikut copy yaa
BalasHapusmembantu sekali buat tugas kuliah.. hatur nuhun :)
BalasHapusizin sedot brayy
BalasHapusHello...it's me. Izin copas gan
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNice info..
BalasHapusBelajar sesuatu yang baru dan menghasilkan uang! Saya baru saja menutup perdagangan dengan 168.00 pips keuntungan dan memperoleh uang ekstra di AGEA (www.agea.com)!
makasihh kakk ;)
BalasHapus